Notaris Lumajang - Hp.081338999229
Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya tentu saja merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang tak ternilai. Tanah merupakan salah satu sumber kekayaan alam, yang mana menjadi modal dasar rakyat Indonesia. Modal tersebut tentu saja dapat digunakan sebagai pembangunan bagi kemajuan bangsa kita.
Pembangunan yang terkait dengan tanah, dapat dilihat baik dari dalam bidang infrastruktur untuk kepentingan umum, maupun pembangunan yang sifatnya untuk pribadi. Kepentingan umum yang dimaksud seperti yang tercantum dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, antara lain tanah yang digunakan untuk pembangunan pertahanan dan keamanan nasional, jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api; waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; pelabuhan, bandar udara, dan terminal; infrastruktur minyak, gas, dan panas bumi; pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik; jaringan telekomunikasi dan informatika Pemerintah; tempat pembuangan dan pengolahan sampah; rumah sakit Pemerintah/Pemerintah Daerah; fasilitas keselamatan umum; tempat pemakaman umum Pemerintah/Pemerintah Daerah; fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik; cagar alam dan cagar budaya; kantor Pemerintah/Pemerintah Daerah/desa; penataan permukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa; prasarana pendidikan atau sekolah Pemerintah/Pemerintah Daerah; prasarana olahraga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan pasar umum dan lapangan parkir umum.
Pembangunan yang sifatnya untuk memenuhi kepentingan pribadi, contohnya pembangunan rumah, dan perumahan. Kesemuanya, baik untuk pembangunan yang sifatnya untuk memenuhi kebutuhan publik, maupun pribadi, tentu saja memerlukan tanah. Tanah-tanah tersebut di Indonesia pengelolaannya ada pada Badan Pertanahan Nasional.
Kepemilikan tanah-tanah tersebut tentu saja perlu didukung dengan pengadministrasian yang tertib dan teratur. Cara yang dapat ditempuh yakni dengan melakukan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini sesuai dengan amanah yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, yakni untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam rangka untuk menjalankan amanah tersebut, sejak tahun 2016 telah diterbitkan PeraturanMenteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN Nomor 28 Tahun 2016 tentang Percepatan Program Nasional Agraria melalui Pendaftaran Tanah Sistematis. Program nasional agraria yang selanjutnya disingkat PRONA tersebut memiliki pengertian program percepatan penetapan hak atas tanah dan pendaftaran tanah masyarakat yang dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan desa/kelurahan demi desa/kelurahan di seluruh wilayah Republik Indonesia, sesuai dengan strategi pembangunan dari pinggiran.
Perkembangannya, untuk mewujudkan tujuan dari dilakukannya percepatan pendaftaran tanah lengkap di seluruh Republik Indonesia dirasa belum mengatur pemanfaatan tenaga profesional dan industri survei dan pemetaan, serta masih terbatasnya sumber-sumber pembiayaan dalam rangka pelaksanaan percepatan pendaftaran tanah lengkap, sehingga perlu disempurnakan, maka dikeluarkanlah PeraturanMenteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap.
Istilah PRONA, Program Nasional Agraria yang terdapat dalamPeraturanMenteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN Nomor 28 Tahun 2016 , sudah tidak ditemukan lagi dalam ketentuan umum PeraturanMenteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN Nomor 35 Tahun 2016. Istilah yang dapat ditemukan dalam PeraturanMenteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN Nomor 35 Tahun 2016 pada ketentuan umum Pasal 1 angka 1 nya yakni pendaftaran tanah sistematik lengkap, yang mempunyai makna kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN Nomor 35 Tahun 2016 ternyata dinilai mengakomodir kebutuhan yang ada, maka aturan tersebut diubah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2017. Tidak berselang lama, peraturan menteri ini pun dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2017 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, namun semua ketentuan pelaksanaan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 35 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2017.
Pada tahun 2018, muncul peraturan menteri kembali yakni Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Alasan adanya peraturan menteri ini karena masih terdapat beberapa permasalahan dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 Tahun 2017, sehingga memerlukan penyempurnaan substansi/materi dengan menyesuaikan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendaftaran tanah maupun ketentuan pertanahan lainnya agar terselenggara pendaftaran tanah sistematis lengkap di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Beberapa peraturan yang mengatur mengenai percepatan pendaftaran tanah tersebut, bertujuan untuk mewujudkan terselenggaranya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian saat ini disebut dengan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Salah satu tujuannya untuk menjamin kepastian hukum. Hal ini tentu sangat memerlukan dukungan dari pemerintah itu sendiri. Dukungan tersebut dapat berupa peran yang ada pada Badan Pertanahan Nasional, dalam hal ini juga peran dari Kantor Pertanahan.
Tinjauan Pustaka
Pendaftaran tanah di Indonesia dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 19 UUPA dengan peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Pengertian pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus- menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidangbidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Kewajiban melakukan pendaftaran tanah tersebut pada prinsipnya dibebankan kepada pemerintah dan pelaksanaannya secara bertahap daerah demi daerah berdasarkan ketersediaan peta dasar pendaftaran.Dalam kenyataannya di Indonesia, dari sekitar 55 juta bidang tanah yang ada, baru sekitar 30 persen yang bersertipikat.[1]
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 19 UUPA, Pendaftaran tanah yang dilaksanakan di Indonesia merupakan pendaftaran tanah dalam rangka “Rechts kadaster”, yaitu pendaftaran tanah yang tujuannya adalah dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, pada proses akhir pendaftaran tanah diterbitkan alat bukti berupan Buku Tanah dan sertipikat Tanah yang terdiri salinan Buku Tanah dan Surat Ukur.
Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum hak atas tanah rakyat secara adil dan merata, serta mendorong pertumbuhan ekonomi negara pada umumnya dan ekonomi rakyat khususnya, serta untuk segera mewujudkan apa yang diamanahkan oleh Pasal 19 UUPA, bahwa pendaftaran tanah dilakukan diseluruh wilayah Republik Indonesia, maka dilakukan kegiatan percepatan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Pengertian PTSL yang dapat kita temukan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua objek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya yang setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya.
Maksud diadakannya Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 yaitu sebagai pedoman pelaksanaan kegiatan PTSL yang dilaksanakan desa demi desa di wilayah kabupaten dan kelurahan demi kelurahan di wilayah perkotaan yang meliputi semua bidang tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Sedangkan tujuannya, sesuai dengan Pasal 2 aturan tersebut yaitu untuk mewujudkan pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum Hak atas Tanah masyarakat berlandaskan asassederhana, cepat, lancar, aman, adil, merata dan terbuka serta akuntabel,sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan ekonomi negara, serta mengurangi dan mencegahsengketa dan konflik pertanahan.
Objek PTSL meliputi seluruh objek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, yang mana meliputi seluruh bidang tanah tanpa terkecuali, baik bidang tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang tanah yang memiliki hak dalam rangka memperbaiki kualitas data pendaftaran tanah. Selain itu, dalam Pasal 4 ayat (3) objek PTSL juga meliputi bidang tanah yang sudah ada tanda batasnya maupun yang akan ditetapkan tanda batasnya dalam pelaksanaan kegiatan PTSL.
Kegiatan PTSL ini tentu saja melibatkan peran, mulai dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional, serta kantor pertanahan. Menurut Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional Pasal 1 ayat (1), Badan Pertanahan Nasional (yang disingkat BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Ayat (2) nya mengatakan BPN melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015, tugas pokok BPN adalah membantu presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA, maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang meliputi pengaturan, pengawasan pemilikan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, pengukuran, pendafatran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah-masalah pertanahan berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh presiden.[2]
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =
Footnote;
[1] Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi, (Jakarta, Kompas, 2006) hlm 201
[2] Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan: Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003), hlm.5