Notaris Lumajang, Jumat 03 Januari 2020
Jual beli tanah tanpa bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah, merupakan masalah pelik yang sering menjadi sumber konflik masyarakat kita. Ada yang melakukan transaksi jual beli tanah berdasarkan kesepakatan lisan saja antara penjual dan pembeli tanpa bukti berupa dokumen yang dapat menguatkan kepemilikan seseorang. Bahkan ada orang yang nekat menjual tanah yang sudah dijualnya, istilah kampungnya, jual di atas jual. Di kemudian hari muncul masalah, tanah yang dijual atau dibeli itu digugat keabsahannya. Ada yang kemudian diselesaikan secara musyawarah atau kekeluargaan, ada yang dibawa ke pengadilan, adapula lewat jalan pintas pertikaian bahkan pertumpahan darah.
Dalam hal jual beli tanah, yang menjadi objeknya adalah sertifikat tanah. Jika tanah sudah bersertifikat, tidak ada masalah. Sebagai pembeli tinggal mengecek keabsahan sertifikat tanah itu dikantor BPN setempat apakah sudah sesuai dengan data yang termuat dalam buku tanah. Jika tanah yang akan dibeli belum atau tidak bersertifikat, maka pembeli harus mengecek keberadaan status tanah tersebut ke Kantor Kepala Desa atau Kantor Kelurahan setempat.
Setelah status tanah tersebut benar terdaftar dan ada bukti kepemilikannya, maka pembeli dapat meminta surat keterangan Kepala Desa atau Kelurahan setempat untuk pengurusan pendaftaran tanah ke Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Ini sesuai dengan amanat Pasal 39 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, di mana PPAT berhak menolak apabila tanah yang belum terdaftar ternyata tidak ada surat keterangan yang menyatakan bahwa tanah tersebut belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan. Bagi obyek tanah yang letaknya jauh dari Kantor Pertanahan, dapat dimintakan surat keterangan dari pemegang hak yang bersangkutan yang dikuatkan oleh Kepala Desa atau Lurah setempat.
Sertifikat tanah menjadi bukti kepemilikan atau penguasaan seseorang atas tanah. Pasal 4 ayat (1) UUPA menjamin hak dari setiap pemegang hak atas tanah untuk memperoleh sertifikat. Fungsi utama dan terutama dari sertifikat adalah bukti kepemilikan hak atas tanah yang sah dan kuat. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 19 Ayat 2 huruf c UUPA. Sertifikat tanah merupakan tanda bukti yang berlaku sebagi alat pembuktian yang sah dan kuat sepanjang data di dalam sertifikat itu sesuai dengan data yang terdapat didalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Proses jual beli hak atas tanah yang telah didaftarkan atau telah bersertifikat memiliki resiko hukum yang rendah, karena hak kepemilikan dan subyek hukum penjual telah jelas dan terang. Sebaliknya bagi tanah yang belum didaftarkan hak kepemilikannya atau tidak ada sertifkatnya, memiliki resiko hukum dan kerawanan yang lebih tinggi. Terhadap obyek jual beli hak atas tanah yang tidak memiliki sertifikat lebih menekankan pada kepercayaan dan atas dasar bukti secukupnya bahwa seorang sebagai pemiliknya sekalipun tanpa bukti kepemilikan tanah yang sah sebagaimana yang telah ditetapkan dalam peraturan-perundangan. Hal ini dapat dicermati dari persyaratan formil yang melekat sebagai alas hak.
Prosedur Peralihan Hak Atas Tanah Tanpa Sertifikat
Peralihan hak atas tanah yang belum bersertifikat yang dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, alat bukti peralihan haknya dapat berupa akta otentik yang dibuat oleh PPAT, namun apabila dilakukan dengan akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak (penjual dan pembeli) dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau Lurah, maka akta tersebut dapat dijadikan bukti perolehan hak atas tanah dan dapat didaftarkan ke Kantor Pertanahan. Sedangkan jual beli hak atas tanah yang belum bersertifikat tersebut dilakukan setelah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, maka harus dibuktikan dengan akta jual beli yang dibuat oleh atau dihadapan PPAT. Apabila tidak dibuat dengan akta jual beli yang dibuat oleh PPAT, maka proses jual beli tersebut harus diulang dengan jual beli yang dibuat oleh PPAT. Hal ini untuk memenuhi syarat dan ketentuan peralihan hak atas tanah tersebut dapat didaftarkan dengan mendasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Di kalangan masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di pedesaan hingga saat ini belum semuanya mengenal adanya PPAT. Dalam melakukan transaksi di bidang pertanahan masih ada sebagian masyarakat di pedesaan yang menuangkan dalam akta yang ditandatangani oleh para pihak dengan diketahui Kepala Desa. Bahkan ada pula transaksi tanah yang hanya dituangkan dalam bentuk kwitansi pembayaran tanpa dibuat akta perjanjian. Model transaksi tanah seperti itu masih terjadi di sebagian masyarakat di pedesaan, karena transaksi mereka buat dirasa cukup hanya dibuktikan dengan akta yang dibuat sendiri atau sekedar catatan adanya bukti pembayaran.
Menurut pemahaman masyarakat selama ini transaksi jual beli tanah dilaksanakan sesuai prinsip kontan dan terang yang berlaku dalam hukum adat, sehingga tidak diperlukan formalitas seperti yang berlaku pada hukum barat yang mengharuskan transaksi dilaksanakan di hadapan pejabat umum. Oleh karena itulah tidak mengherankan jika keberadaan PPAT sebagai pejabat pembuat akta di bidang pertanahan belum banyak dikenal oleh masyarakat di pedesaan terutama di daerah terpencil. Apabila mereka melakukan transaksi dengan obyek tanah maka cukup dibuatkan dengan bentuk akta di bawah tangan dengan disaksikan oleh Kepala Desa. Pada sebagian masyarakat yang lain ada pula yang membuat akta dengan disaksikan atau dimintakan pengesahan kepada Camat. Dalam perspektif hukum pertanahan, Camat sebagai kepala wilayah kecamatan secara eks officio adalah menjabat sebagai PPAT sementara.[1]
Keberadaan PPAT diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang menegaskan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan membuat akta-akta tanah tertentu (Pasal 1 angka 24). Selanjutnya dalam PP Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu menyangkut hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun (Pasal 1 angka 1). PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (sekarang Kepala BPN) untuk suatu daerah kerja tertentu. Dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat di daerah terpencil yang belum tersedia PPAT, Menteri dapat menunjuk Camat atau Kepala Desa sebagai PPAT Sementara, dan Kepala Kantor Pertanahan sebagai PPAT Khusus. Jabatan PPAT tidak boleh dirangkap dengan profesi advokat/pengacara, pegawai negeri (termasuk hakim dan jaksa), atau pegawai BUMN/BUMD.[2]
Jual beli hak atas tanah yang belum terdaftar (belum bersertifikat) tujuannya untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota melalui pendaftaran tanah secara sporadis, maka jual belinya harus dibuat dengan akta PPAT. Dengan pendaftaran pemindahan hak ke Kantor Petanahan Kabupaten/ Kota, maka terpenuhilah asas publisitas dalam pendaftaran tanah, yaitu setiap orang dapat mengetahui data fisik berupa letak, ukuran, batas-batas tanah, dan data yuridis berupa subyek hak, status hak dan pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan proses jual beli tanah, antara lain;
Di kalangan masyarakat Indonesia terutama yang tinggal di pedesaan hingga saat ini belum semuanya mengenal adanya PPAT. Dalam melakukan transaksi di bidang pertanahan masih ada sebagian masyarakat di pedesaan yang menuangkan dalam akta yang ditandatangani oleh para pihak dengan diketahui Kepala Desa. Bahkan ada pula transaksi tanah yang hanya dituangkan dalam bentuk kwitansi pembayaran tanpa dibuat akta perjanjian. Model transaksi tanah seperti itu masih terjadi di sebagian masyarakat di pedesaan, karena transaksi mereka buat dirasa cukup hanya dibuktikan dengan akta yang dibuat sendiri atau sekedar catatan adanya bukti pembayaran.
Menurut pemahaman masyarakat selama ini transaksi jual beli tanah dilaksanakan sesuai prinsip kontan dan terang yang berlaku dalam hukum adat, sehingga tidak diperlukan formalitas seperti yang berlaku pada hukum barat yang mengharuskan transaksi dilaksanakan di hadapan pejabat umum. Oleh karena itulah tidak mengherankan jika keberadaan PPAT sebagai pejabat pembuat akta di bidang pertanahan belum banyak dikenal oleh masyarakat di pedesaan terutama di daerah terpencil. Apabila mereka melakukan transaksi dengan obyek tanah maka cukup dibuatkan dengan bentuk akta di bawah tangan dengan disaksikan oleh Kepala Desa. Pada sebagian masyarakat yang lain ada pula yang membuat akta dengan disaksikan atau dimintakan pengesahan kepada Camat. Dalam perspektif hukum pertanahan, Camat sebagai kepala wilayah kecamatan secara eks officio adalah menjabat sebagai PPAT sementara.[1]
Keberadaan PPAT diatur dalam PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang menegaskan bahwa PPAT adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan membuat akta-akta tanah tertentu (Pasal 1 angka 24). Selanjutnya dalam PP Nomor 37 Tahun 1998 disebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu menyangkut hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun (Pasal 1 angka 1). PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (sekarang Kepala BPN) untuk suatu daerah kerja tertentu. Dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat di daerah terpencil yang belum tersedia PPAT, Menteri dapat menunjuk Camat atau Kepala Desa sebagai PPAT Sementara, dan Kepala Kantor Pertanahan sebagai PPAT Khusus. Jabatan PPAT tidak boleh dirangkap dengan profesi advokat/pengacara, pegawai negeri (termasuk hakim dan jaksa), atau pegawai BUMN/BUMD.[2]
Jual beli hak atas tanah yang belum terdaftar (belum bersertifikat) tujuannya untuk didaftarkan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota melalui pendaftaran tanah secara sporadis, maka jual belinya harus dibuat dengan akta PPAT. Dengan pendaftaran pemindahan hak ke Kantor Petanahan Kabupaten/ Kota, maka terpenuhilah asas publisitas dalam pendaftaran tanah, yaitu setiap orang dapat mengetahui data fisik berupa letak, ukuran, batas-batas tanah, dan data yuridis berupa subyek hak, status hak dan pemindahan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan ke Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota.
Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan proses jual beli tanah, antara lain;
- mengecek kepastian kepemilikan hak, apakah penjual benar-benar pemilik sah tanah tersebut,
- perlu mengetahui tentang subjek yang memiliki tanah dan bangunan yang akan dibeli,
- harus mengetahui batas maksimum kepemilikan,
- mengecek apakah diatas tanah tersebut ada hak yang lebih tinggi atau tidak,
- mengecek apakah tanah dibeli sedang dijaminkan kredit atau tidak, dan
- mengecek apakah tanah tersebut tidak sedang dalam sengketa. Setelah semuanya terpenuhi maka akta jual beli akan dibuatkan oleh PPAT.
Calon Penjual ,
- harus membawa Surat Keterangan Status Tanah yang dibuat Kepala Desa atau Camat setempat,
- surat Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) jika dilahan tersebut sudah berdiri bangunan,
- Kartu Tanda Penduduk (KTP),
- Akta Perkawinan,
- bukti Pembayaran PBB,
- surat persetujuan suami atau istri bagi yang sudah berkeluarga,
- dan Kartu Keluarga (KK).
Dalam pembuatan akta jual beli, masing-masing pihak penjual dan pembeli berkewajiban membayar pajak transaksi. Penjual wajib membayar Pajak Penghasilan (Pph), sedangkan pembeli wajib membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Setelah akta ditandatangani maka kemudian diselesaikan oleh PPAT dan diserahkan kepada pihak pembeli untuk dilakukan pendaftaran sebagaimana diwajibkan PP Nomor 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah untuk pertama kali atas tanah tersebut dapat dilakukan oleh pihak pembeli sendiri atau dikuasakan kepada pihak lain. Disamping itu juga dapat dikuasakan kepada PPAT yang membuat akta jual beli tersebut untuk mengajukan permohonan pendaftaran hak atas tanah pertama kali dan sekaligus mendaftarkan peralihan hak atas tanah yang dilakukan melalui jual beli yang dibuat dihadapan PPAT bersangkutan. Apabila pendaftaran tanah dilakukan oleh pihak ketiga atau dikuasakan kepada PPAT, maka harus dilampiri dengan surat kuasa khusus untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak atas tanah tersebut.
Berikut ini tahapan prosedur pendaftaran tanah secara sporadis sebagai berikut :
- Mengajukan permohonan pendaftaran tanah secara sporadis kepada Kepala Kantor Pertanahan
- Membayar biaya pendaftaran. Biaya pendaftaran ini telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 Tentang Tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional.
- Setelah dilakukan pembayaran biaya pendaftaran, maka kemudian dilakukan pengukuran tanah oleh petugas ukur dari Kantor Pertanahan
- Pengumpulan dan penelitian data yuridis bidang tanah dan penetapan batas
- Pengumuman data fisik dan data yuridis serta pengesahannya. Pengumuman dilakukan dalam waktu selama 60 hari, setelah jangka waktu pengumuman berakhir maka kemudian dilakukan pengesahan oleh Kepala Kantor Pertanahan
- Pembukuan hak, setelah dilakukan pengakuan dan pengesahan hak pasca diumumkan, maka kemudian dibuat buku tanah hak atas tanah tersebut yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan.
- Penertiban sertifikat, yang dilakukan setelah dibuatkan buku tanah hak atas tanah bersangkutan, dimana kutipan data yuridis dan data fisik tanah yang tercantum dalam buku tanah kemudian ditulis dalam sertifikat hak atas tanah tersebut.
- Penyerahan sertifikat, yang dilakukan setelah sertifikat selesai dibuat dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Rangkaian prosedur pendaftaran peralihan hak atas tanah sebagaimana tersebut di atas sesuai ketentuan pendaftaran tanah sporadis menurut PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, dimana salah satu tahapannya adalah dilakukan pengumuman data fisik dan data yuridis selama 60 hari di Kantor Pertanahan, dengan tujuan agar pihak ketiga mengetahui dan mengajukan keberatan jika mempunyai hak atas tanah tersebut. Apabila selama dilakukan pengumuman tidak ada pihak lain yang berkeberatan, maka kemudian dilakukan pembukuan data fisik dan data yuridis dalam Buku Tanah yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Setelah dibuatkan Buku Tanah, maka diterbitkan sertifikat hak atas tanah yang berisi kutipan data fisik dan data yuridis serta dilampirkan gambar situasi. Sertifikat hak atas tanah atas nama pemegang hak (pemohon pendaftaran hak atas tanah) tersebut ditandatangani oleh Kepala Kantor Pertanahan. Setelah sertifikat ditandatangani maka kemudian diserahkan kepada pemegang hak. Apabila pengurusan pendaftaran jual beli hak atas tanah tersebut dilakukan orang lain, maka harus disertai dengan surat kuasa khusus yang berisi kuasa pengurusan seluruh proses pendaftaran hak untuk pertama kali sampai penerimaan sertifikat tanah pada saat proses pendaftaran haknya telah selesai.
Footnote:
[1] Husni Tamrin, 2009, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal.64
[2] M. Khoidin, 2004, Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, Tidak Dipublikasikan, hal. 279-283.
[1] Husni Tamrin, 2009, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal.64
[2] M. Khoidin, 2004, Kekuatan Eksekutorial Sertifikat Hak Tanggungan, Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, Tidak Dipublikasikan, hal. 279-283.
Diupdate Jumat 03 Januari oleh Notaris Lumajang